Sejumlah investor muda ramai-ramai membeli saham klub sepakbola tanah air. Dengan popularitas disertai guyuran dana, para pesohor dari kalangan millenial ini diprediksi bakal meramaikan industri sepakbola dalam negeri. Sebut saja Raffi Ahmad yang membeli saham klub Liga 2 Cilegon United FC yang kemudian berubah nama menjadi Rans Cilegon FC , Atta Halilintar yang membeli saham AHHA PS Pati FC, setelah sebelumnya dikabarkan akan berinvestasi di Sriwijaya FC. Kabar ini melengkapi deretan anak di industri sepakbola setelah Putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaesang Pangarep lebih dulu menjadi pemilik klub Persis Solo. Kaesang tidak sendiri, pengusaha Erick Thohir kabarnya juga sama-sama menggelontorkan dana untuk membeli 20% saham klub di Kota Solo itu. Sosok selebritas lain yang juga mencoba peruntungan di klub sepakbola adalah Gading Marten dengan mengakusisi Persikota Tangerang. Melihat fenomena tersebut, Sesmenpora Gatot S Dewobroto mengungkapkan, saat ini memang muncul gegap gempita dari kehadiran para pesohor itu di industri sepakbola. Hal itu harus segera disadari oleh para investor muda itu karena industri sepakbola itu berlaku hukum alam. “Karena nanti kalau klubnya tidak berprestasi akan tergerus oleh kompetisi alam. Apa yang dijual, misalnya pesohor A membeli klub B. meskipun si A terkenal, tapi klubnya tidak berprestasi, tidak akan ditengok,” tegasnya kepda KORAN SINDO, Minggu (13/6/2021)
Gatot menuturkan pernah ada pengusaha yang membeli klub bola Indonesia beberapa tahun lalu. Namun, setelah banyak rugi dan tidak mendongkrak bisnisnya, secara perlahan yang sang pengusaha mundur dari industri sepakbola Tanah Air. Namun, kata dia, sosok Raffi Ahmad, Atta Halilintar, Gading Marten, dan Kaesang dianggap memiliki keunggulan lain yang tidak memiliki pengusaha, yakni bisa menarik sponsor untuk membenamkan fulusnya. Terkait pencarian sponsor, Gatot memperkirakan memang tidak akan mudah. Sebab, klub yang dibeli para investor itu kini berada di lapis kedua kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Namun, kata dia, hal itu bisa dimaklumi karena ini meriupakan tahap awal. Gatot mencontohkan, di luar negeri banyak selebritis dunia membenamkan dananya di sepakbola dan biasanya memilih klub kasta kedua. Misalnya, pebasket NBA Steve Nash yang membeli Real Mallorca di Liga Spanyol. “Di Negara manapun mereka rata-ratanya masuknya tidak otomatis (ke klub besar) kecuali keuangannya luar biasa. Para (taipan) Timur Tengah dan Roman (Abramovich), ibaratnya rekeningnya enggak ada nomor serinya. Itu mereka enggak tanggung-tanggung. Orang-orang Qatar berapa klub di Eropa yang dimiliki,” terangnya. Pengamat sepakbola Weshley Hutagalung menyambut hangat keterlibatan anak-anak muda yang masuk menjadi investor atau pemilik klub-klub sepakbola tanah air. Menurut dia, keterlibatan anak-anak muda itu mungkin saja bisa membawa gaya baru dan perubahan dalam cara pengelolaan sepakbola di Indonesia. Di sisi lain, jika fenomena keterlibatan anak-anak muda itu dikomparasikan dengan negara-negara tentu agak susah, misalnya dikomparasikan dengan Thailand. Musababnya, kata Weshley, selama orang Indonesia maupun pemilik-pemilik klub sepakbola di tanah air tidak memahami secara utuh posisi dan nilai sepakbola, maka makna dan tujuan sepakbola sesungguhnya tidak tercapai.
“Saya berkali-kali katakan begini, selama kita tidak tahu posisi sepakbola dalam kehidupan kita berbangsa, dan bernegara, selama itu pula sepakbola diartikan berbeda oleh orang-orang yang punya kepentingan. Karena bagi orang yang punya kepentingan, belum tentu sepakbola itu menjadi tujuan dan malah jadi alat. Apakah sepakbola itu untuk menuju tujuan dan meraih prestasi atau ada strategi yang lain? Ini yang enggak enak di negara kita,” tegas Weshley saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, Kamis (10/6) sore. Mantan pemimpin redaksi Tabloid Bola ini membeberkan, di negara-negara lain sepakbola bertujuan di antaranya untuk mendulang prestasi dan hiburan bagi masyarakat. Ketika prestasi menjadi tujuan, tutur Weshley, maka ada banyak aspek diperhatikan dan berbagai strategi disusun. Mulai dari sekolah sepakbola berjenjang, kurikulum, standarisasi, hingga peningkatan kualitas para pemain.
Menurut Weshley, kalau bicara bernegara misalnya maka negara memiliki garis besar haluan negaranya sangat jelas hingga tingkat daerah. “Nah, sepakbola kita belum dapat memainkan peranan itu. Kalau pun nanti sudah ada, kembali lagi para pemilik klub ini dalam mengelolanya apakah melihat itu atau nggak. Atau para pemilik klub termasuk anak-anak muda yang jadi investor itu hanya menjadikan sepakbola ini sebagai bisnis sampingan, atau hanya ikut trending demi konten,” bebernya. Weshley berpandangan, saat ini ada tudingan banyak orang bahwa masuknya anak-anak muda seleb media sosial yang menjadi investor/pemilik klub sepakbola adalah demi konten. Meski demikian Weshley mengaku tidak menuduh seperti itu. Bagi dia, tidak ada yang salah anak-anak muda seleb media sosial menjadi investor/pemilik klub sepakbola. Apalagi irisannya nanti juga berkaitan erat dengan gaji maupun kualitas pemain. “Selama mereka bisa menggaji pemain dengan baik dibandingkan dengan klub lain yang tidak peduli dengan konten tapi tidak bisa menggaji pemain, pilih mana? Kan banyak kehidupan orang juga tergantung sama mereka,” paparnya.
No Responses